-->

Kisah Saiful, Anak Pemulung Jadi Juara Karate, Tinggal Berdua dengan Ibunya di Rumah Tak Layak Huni

Kisah Saiful, Anak Pemulung Jadi Juara Karate, Tinggal Berdua dengan Ibunya di Rumah Tak Layak Huni

Kisah Saiful, Anak Pemulung Jadi Juara Karate, Tinggal Berdua dengan Ibunya di Rumah Tak Layak Huni


Keterbatasan ekonomi bukan menjadi penghalang seseorang meraih prestasi mengejar mimpi.

Di Kabupaten Malang, Jawa Timur, kisah seorang anak pemulung yang hanya hidup bersama Ibunya viral di media sosial.

Terlebih saat sang anak menyabet juara dalam turnamen karate tingkat Kabupaten.

Dalam video yang viral di media sosial ini, terlihat masing-masing anak dan Ibu beriringan membawa sepeda, usai sang anak menjadi juara harapan 1 dalam turnamen karate tingkat Kabupaten yang digelar di gedung Bela Negara Kota Malang pada pekan lalu.

Adalah Aditya Saiful Alam bersama Ibunya, Sulastri, warga Jenggolo Kabupaten Malang yang viral dalam video ini.

Sehari-hari Ia hanya hidup berdua setelah sang ayah meninggal dunia 12 tahun silam.

Kondisi rumah yang rusak dan penuh dengan rongsokan membuat Ibu dan anak ini terpaksa harus menumpang di rumah neneknya untuk sementara waktu.
 

Meski demikian kondisi ini tidak menyulutkan bocah berusia 12 tahun ini untuk terus belajar mengejar prestasi.

Ia mengikuti latihan karate sejak masih duduk di bangku TK.

Semangat mengejar prestasi ini tak lain untuk membahagiakan orang tua demi mengejar cita-cita.

Tak hanya itu, Aditya juga memiliki mimpi untuk bertemu dengan presiden Joko Widodo.

“Saya ingin membahagiakan kedua orang tua” kata Aditya.

Prestasi sang anak ini membuat Sulastri sebagai seorang Ibu bangga.

“Dia pantang menyerah, meski di tengah keterbatasan” terang sang Ibu.

Mengejar mimpi di tengah himpitan ekonomi adalah perjuangan yang tidak mudah.

Namun semangat demi orang tua dan cita-cita adalah potret dari seorang Aditya.

Viral di Medsos

Aksi Syaiful viral lewat media sosial TikTok.

Syaiful menjadi bahan sorotan saat terekam netizen mengayuh sepeda puluhan kilometer pulang ke rumahnya bersama Sulastri ibu kandungnya usai mengikut kejuaraan tersebut.

Ketika ditemui di kediamannya, kondisi rumah Syaiful ternyata jauh dari kata layak.

Bocah yang akrab disapa Ipul tersebut tinggal hanya dengan ibunya di rumah semi permanen.

Tampak genteng rumah sudah dalam keadaan rusak dengan tanah sebagai lantai.

Setiap hari, Sulastri bersama Ipul terpaksa tidur dengan dikelilingi sampah.

Penghasilan Sulastri sebagai pemulung sampah membuat dirinya hidup pas-pasan dengan anaknya tersebut.

Sejatinya Sulastri dan Syaiful tinggal menumpang di kediaman nenek alias ibu kandungnya.

Namun Sulastri tinggal di bagian belakang rumah neneknya tersebut.

Bagian rumah terkena dampak gempa bumi pada April 2021.

"Dan sampai sekarang saya tidak mendapat bantuan sampai saat ini. Jadi ya saya biarkan begini, jadi gudang. Dan saya tinggal sama mbahnya Syaiful di sebelah. Beginilah rumah kami. Syaiful sama saya tinggal di sini. Suami saya sudah meninggal dunia," ujar Sulastri ketika ditemui di rumahnya, Selasa (14/9/2021).

Sulastri mengatakan anak satu-satunya tersebut memang berhasrat menggeluti olahraga karate sejak sekolah Taman Kanak-kanak.

"Ipul suka karate sejak TK. Memang giat ada kemauan tinggi. Ingin membanggakan orang tuanya," beber wanita yang akrab disapa Sum itu.

Sebagai seorang ibu, Sulastri ingin mewujudkan keinginan anaknya tercapai.

"Tapi saya bilang ke Ipul saya hanya bisa segini. Kayak kemarin ibu hanya bisa ngantar pakai sepeda pancal begitu. Tapi dia senang dan penurut anaknya dan gak neko-neko," sebut Sum.

Sulastri bercerita saat Ipul masih berumur lima tahun, anaknya tersebut berhasrat menjadi polisi.

"Saya tanya 'pak ya apa caranya jadi polisi?' pak polisinya jawab 'harus pintar bela diri' sejak saat itu saya bilang ke ibu ingin karate dan didukung," ujarnya.

Sulastri bersyukur memiliki anak seperti Ipul.

Ia menilai Ipul adalah sosok yang tidak rewel.

Kemana-mana, Ipul kompak bersepeda bersama ibunya.

"Dia suka lihat Stasiun Kota baru yang barusan dibangun itu. Ia suka melihat gedung-gedung itu. Pernah sepedaan ke Singosari sama ke Gunung Kawi. Saya bersyukur punya Ipul," terang wanita berkerudung ini.

Ia pun bercerita jika keseharian Ipul tidak hanya sekolah dan latihan karate.

Ipul juga membantunya mencari rongsokan untuk dijual kembali guna mencukupi kebutuhan hidup.

"Ya saya kan kerjanya mengumpulkan rongsokan. Biasanya Ipul itu ikut kayak kemarin pas kejuaraan pulangnya ya saya nyari di gang-gang Kota sampai Kabupaten sama Ipul. Dia pun gak masalah. Dia berbakti sama orang tuanya," ungkap Sulastri.

Sulastri kadang suka menunggak uang iuran karate anaknya karena keterbatasan biaya.

"Biaya karate Rp 60 ribu per bulan. Pernah nunggak, waktu ujian karate baru jual rongsokan," kenang Sulastri.

Ke depan Sulastri bersama anaknya bermimpi punya rumah sendiri.

"Ingin punya rumah sendiri. Saya setiap setor sampah dapat Rp 350 ribu itu 2 gerobak besar. Satu bulan hanya 3 kali setor," impinya.

Sementara itu, Syaiful mengaku ingin melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren An-Nur Bululawang suatu saat.

"Pengen mondok di An-Nur sama tetep ingin terus main karate. Saya bercita-cita jadi polisi," tutupnya.

Sumber: Kompas.TV/Surya.co.id

0 Response to "Kisah Saiful, Anak Pemulung Jadi Juara Karate, Tinggal Berdua dengan Ibunya di Rumah Tak Layak Huni"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel